.:. Izinkan Aku Pergi dari Pelukanmu Malam Ini .:.

“Byuurrr…!”

Air mendadak muncrat. Membasahi sebagian ban mobilku. Aku terus melaju, tak ingin terlambat menuju tempat yang telah dijanjikan. Ini bukan pertama kalinya memang. Tapi, aku tidak ingin ini menjadi pertama kalinya aku terlambat. Setidaknya, selama ini aku telah berhasil memberikan citra baik pada diriku di hadapannya. Bukan pura-pura yang pada akhirnya akan berujung luka.

Ban mobil berdecit tepat di depan sebuah kedai kopi dengan ornamen unik. Aku bergegas masuk dan memilih duduk di tempat biasa, sudut ruangan. Kunyalakan laptop dan mulai menulis.

“Naskah novel baru, ya?” Seorang pelayan mengejutkanku.

“Bukan, kok,” jawabku singkat dalam senyuman.

“Pesen kayak biasanya?” tanyanya ramah, seperti biasa saat aku ke sini.

“Iya. Makasih, ya.”

Jemariku kembali berkutat dengan tombol keyboard saat pelayan itu telah berlalu. Kali ini, ada yang berbeda dalam setiap ketukan tombol. Seolah ada beban berat yang enggan lepas.

Pesanan telah datang di mejaku. Tak segera kusentuh. Pandanganku tajam ke arah pintu masuk. Gerimis sisa hujan masih menciptakan elegi sebuah kerinduan. Juga tentang harapan yang beterbangan membaur dengan asap kopi hitam kental. Dia belum datang.

Aku menghela napas. Berharap-harap cemas menunggu kedatangannya. Seharusnya aku tadi menjemputnya. Tapi tidak kulakukan. Sebab hal itu tidak mungkin. Aku tak pernah punya kewajiban untuk menjemputnya. Seperti biasa, malam Minggu seperti ini dia akan muncul tiba-tiba. Dan, kali ini aku kembali tidak terlambat. Dengan begitu dia akan tahu, bahwa aku bersungguh-sungguh menunggu.

Sepuluh menit berlalu. Lima belas terlampaui sudah. Dan, tiga puluh menit menjelang. Tak ada tanda-tanda dia akan datang. Dalam hati kecilku sebenarnya aku merasa nyaman dalam siatuasi seperti ini. Sangat nyaman malah. Setahun mencintai diam-diam sejak mengenalnya di kedai kopi ini. Bagiku dengan begitu, aku tidak akan pernah merasakan patah hati. Bagaimanapun dia, aku mencintainya. Memang terdengar gila, tapi begitulah adanya.

Menatap wajahnya yang sayu adalah kebahagiaanku. Memperhatikan matanya yang sendu adalah caraku mengagumi ciptaan Tuhan. Bahkan, senyumnya adalah surga kecil bagiku. Iya. Aku bahagia mencintainya diam-diam. Kuakui aku memang pengecut, tapi beginilah cara merawat hatiku.

Hampir satu jam berlalu, terhitung dari saat aku mulai mengetikkan sederet kalimat di laptopku. Kalimat yang takkan pernah selesai. Kalimat yang akan selesai hanya dengan keberanian. Iya. Keberanian. Sesuatu yang tak pernah kumiliki sejak mantan kekasihku memilih menikah dengan orang lain.

Gerimis masih belum tuntas saat seorang gadis berpayung merah memasuki area kedai kopi. Aku bisa melihatnya sebab kedai kopi ini berdinding rendah. Dia melangkah masuk. Dari kejauhan aku tersenyum ke arahnya. Dia sama sekali tak menghiraukanku. Dia terus melangkah masuk.

Kuperhatikan setiap gerak-geriknya. Sampai akhirnya terdengar lantunan sebuah lagu dari sudut kedai kopi. Bait terakhir lagu ‘Foolish Game’ dari Jewel tuntas diperdengarkan. Terdengar tepuk tangan riuh pengunjung kedai kopi. Lagu berikutnya, dia mengajak seorang pengunjung untuk berduet lagu romantis.

Cemburukah aku? Tentu tidak. Dulu. Tapi, saat ini sepertinya ada yang berbeda dalam petak debaran hatiku.

Setelah beberapa lagu, seperti biasa, dia selalu menghampiriku. Hanya untuk sekadar meminta pendapat tentang penampilannya. Selalu seperti itu.

“Hei…,” sapanya saat menggeser kursi di depanku.

Aku membalasnya dengan senyuman. Obrolan tentang penampilannya mengalir lancar.

“Sebenarnya hanya ada sedikit masukan, sih, Rat,” kataku kemudian.

Ratri mengernyitkan dahi. Ditatapnya lekat-lekat mataku. Tatapan yang bisa serta merta menarikku dari zona nyaman. Jujur, aku tidak bisa lepas dari pesonanya, tapi mengungkapkan perasaanku padanya, rasanya juga bukan pilihan yang bijak.

“Apa itu? Boleh dong aku tahu?” tanyanya dengan tertawa kecil.

“Emm… Apa, ya?” tanyaku balik pura-pura tidak tahu apa-apa tentang lagu.

“Ayolah! Enggak biasanya kamu kayak gini. Biasanya juga ceplas-ceplos ngasih komen. Hahaha… .”

Aku akhirnya menyerah. Aku sampaikan panjang lebar tentang penampilannya barusan. Ratri yang tampil menyenangkan agak terkejut ketika aku mengomentari tentang keromantisannya saat menyanyi duet dengan salah seorang pengunjung.

“Kenapa emangnya? Kamu enggak suka? Atau jangan-jangan kamu cemburu, ya? Hahaha… .”

Aku membalas kata-katanya dengan ikut tertawa. Padahal sejatinya, hatiku menangis. Setelah sekian lama bersama, aku tahu, Ratri memang suka meledekku dengan hal-hal terkait perasaan. Ledekan yang kadang mengusik keberadaanku di zona nyaman.

“Udah. Nyantai aja kali. Entar sesi kedua aku duet sama kamu dengan lebih romantis lagi deh. Gimana? Hehehe… ,” kata Ratri terkekeh pelan.

Zona nyamanku sedikit terusik dengan kata-katanya. Ini sebenarnya bukan keinginanku. Sebab bagaimanapun juga dia adalah sahabatku. Aku tak ingin merusaknya dengan pernyataan kata cinta.

“Kok bengong? Gimana? Kamu mau, kan, duet sama aku?”

“Pastilah. Aku enggak bisa menolak permintaanmu, Rat.”

Lima belas menit pun berlalu. Ratri kembali ke sudut kafe untuk kembali melanjutkan tugasnya. Satu-dua lagu telah didendangkannya. Kini tiba giliranku untuk menemaninya berduet.

Tak butuh waktu lama untuk membangun chemistry antara aku dan Ratri. Hampir setiap malam Minggu, aku mendapat jatah untuk menyanyi duet bersamanya. Bahkan, penampilanku dengan Ratri termasuk yang ditunggu-tunggu, karena aku dan dia bisa memberikan tampilan yang berbeda.

Duet pun usai. Aku kembali ke sudut kedai kopi, sementara Ratri masih terus mendendangkan lagu-lagu yang populer. Kuakui, Ratri gadis yang cantik bersuara emas. Hampir setiap lagu yang dinyanyikannya adalah sebuah keindahan. Itu alasanku mencintainya. Entah pesona apa yang dimiliki Ratri, sehingga aku begitu nyaman mendengar tiap kata yang keluar dari mulutnya.

Aku mendengarkan lantunan suara Ratri sambil meneruskan tulisan yang entah akan berakhir seperti apa. Sampai akhirnya, di depanku mendadak muncul seorang laki-laki paruh baya yang tampan. Dari penampilannya, aku menebak dia seorang eksekutif. Sorot matanya tajam menatap ke arahku. Hal itu membuatku merasa punya kesalahan padanya. Padahal, ini adalah pertemuan pertamaku dengannya.

Aku yang memang seorang pemberani, membalas tatapan matanya. Kali ini, dia membalasnya dengan senyuman. Senyuman yang akan mengubah kemarahan menjadi keramahan. Aku tak kuasa untuk tidak tersenyum padanya.

“Hei… .” Sapanya singkat.

Aku membalasnya dengan jabatan tangan yang erat. Dia memperkenalkan diri sebagai Rommy. Perlahan, Rommy menggeser kursi kemudian duduk dengan elegan tepat di depanku.

“Aku tahu kamu, dari Ratri. Ratri banyak cerita tentang kamu.”

Aku sedikit tersipu. Kututup sedikit layar laptopku agar lebih leluasa berbincang dengannya.

“Aduh! Om Rommy bisa aja. Emang Ratri cerita apa aja?”

Dia tidak segera menjawabku. Tangannya sibuk mengaduk kopi hitam yang baru saja diantarkan seorang waiter. Tak urung, indera penciumanku mencium kesamaan aroma, persis seperti kopiku.

Setelah seluruh gula tercampur sempurna, dia kembali angkat bicara.

“Ratri cerita banyak tentang kamu. Keluargamu, kuliahmu, hobimu menulis, dan tentang sesuatu hal yang… Hmm… Kayaknya kamu tahu apa yang kumaksud. Bukan begitu?”

Aku mengangguk pelan memahami maksud perkataannya. Di lingkungan high class setidaknya aku cukup terkenal. Terlebih posisi Ibu yang seorang anggota dewan. Hal ini membuat aku cukup familiar bagi beberapa kalangan.

“Oya, menurut Ratri, saat ini kamu sebenarnya enggak setuju kalau ibumu mencalonkan lagi sebagai caleg.”

Aku terdiam mencoba menerka-nerka ke mana arah perbincangan dengannya ini. Keraguan mendadak muncul dalam dadaku.

“Enggak papa kalau kamu enggak mau cerita. Padahal, aku hanya ingin menawarkan jalan untuk menjegal ibumu.”

Dahiku mengernyit. Tidak mungkin seseorang yang baru kukenal, tiba-tiba menawarkan jasa begitu saja. Pasti ada imbalannya. Demi mendengar penjelasannya, aku merasa siap untuk segala kemungkinan.

“Iya, Om. Selama ini Ibu udah memberikan citra yang baik di depan umum. Tapi, kenyataannya, berlimpahan materi membuat Ibu lupa diri. Ayah yang hanya pegawai rendahan terpaksa mengalah. Bahkan, sampai akhirnya Ibu memutuskan untuk memilih brondong seusiaku.”

Aku menerawang. Kudengar Ratri masih menyanyikan lagu untuk kesekian kalinya. Mendadak mataku perih. Luka yang terpendam, kini sepertinya hendak banjir bandang. Om Rommy masih menungguku melanjutkan kata-kata.

“Karenanya aku mutusin untuk lari dari rumah. Aku memilih jalan hidupku sendiri. Seperti ini, Om. Kuliah, menulis, dan jalan-jalan malam. Setidaknya aku bisa menemukan kenyamananku sendiri.”

“Nikmati saja. Setelah ini berhasil, kamu akan menemukan kehidupanmu yang dulu lagi. Kalaupun tidak, Om yang akan membantumu keluar dari zona nyaman kamu. Meskipun baru ketemu, Om yakin kamu sebenarnya anak yang baik.”

“Makasih, Om. Jadi, apa yang harus kulakukan?”

Om Rommy mencondongkan tubuhnya ke arahku. Kudekatkan telingaku untuk mendengarkan dia berbisik. Aku mengangguk tanda paham.

“Gimana? Kamu mau, kan?”

“Iya, Om. Aku mau melakukan apa aja, asal Ibu bisa kembali pada Ayah.” Aku mengangguk mantap tanda telah siap menerima risiko apa pun. Aku sudah tidak memedulikan diriku sendiri. Yang kupedulikan hanya Ayah. Bagiku persyaratan yang diberikan Om Rommy tidaklah berat. Toh ini bukan pertama kalinya bagiku. Entah keseratus kali atau keseribu kali. Yang aku tahu, aku nyaman dengan apa yang kulakukan.

“Ratri tahu tentang hal ini, Om?” tanyaku saat Om Rommy mencecap kopi di cangkirnya.

“Iya. Kenapa emangnya?” jawabnya meletakkan cangkir kopi yang tinggal setengahnya di dekat laptopku.

“Enggak papa, Om. Toh, selama ini Ratri juga udah tahu semua tentang aku.”

“Aku mengerti. Mungkin ini berat bagimu dan Ratri, karena kalian sangat dekat.”

Aku terdiam. Pun Om Rommy. Tak lama, Ratri sudah bergabung dengan aku dan Om Rommy. Setelah berjabat tangan dan sedikit berbasa-basi, Ratri pergi. Kali ini aku menatapnya lagi dalam-dalam, dalam cinta diam-diam. Aku tahu, meskipun kuutarakan, Ratri tak mungkin menerimaku, sebab dia tahu seperti apa diriku.

Kulirik jam tangan menunjukkan angka sebelas. Ini saatnya, pikirku. Aku harus segera menemui lawan politik Ibu malam ini juga. Ada keyakinan dia bisa mengalahkan Ibu. Dengan begitu Ibu bisa kembali pada Ayah. Sementara aku, akan meneruskan hidupku sendiri bersama Om Rommy.

Aku mengikuti langkah Om Rommy keluar kedai kopi. Kali ini Om Rommy yang menyetir. Aku mengajaknya karena dia tadi ke kedai kopi naik taksi. Entah apa yang ada dalam pikiranku saat ini yang begitu saja mudah percaya pada Om Rommy. Semata-mata karena Om Rommy adalah paman Ratri, orang yang kucintai selama ini, diam-diam.

Perlahan namun pasti, aku berusaha keluar dari zona nyaman dengan mencintai Ratri diam-diam. Ratri tidak mungkin membalas cintaku, pun aku yang takkan pernah mengutarakannya.

Di perjalanan menuju rumah lawan politik Ibu, Om Rommy banyak cerita tentang kehidupan pribadinya. Tentang perceraiannya dan juga pekerjaannya sebagai agen perantara. Entah mengapa aku merasa nyaman di dekatnya. Bahkan lebih nyaman saat aku bersama Ratri semalaman. Tak bisa kupungkiri, Om Rommy punya magnet tersendiri.

“Nah! Kita udah sampai. Aku akan menunggumu di ujung jalan. Kabari kalau udah selesai.”

“Iya, Om.”

“Dan, kayak yang Om bilang tadi, ini untuk yang terakhir kali. Setelahnya, kamu bisa ikut denganku.”

Aku mengangguk. Ini memang janjiku dari awal. Akan menghentikan perburuan, jika Ayah dan Ibu sudah baikan seperti dulu. Dan, aku yakin malam ini adalah untuk terakhir kalinya. Aku akan memenuhi janjiku pada diri sendiri dan Om Rommy, meskipun harus keluar zona nyaman, menghapus cinta diam-diam pada Ratri. Biarlah Ratri terkubur menjadi kenangan.

Aku keluar mobil, lalu melangkah menuju gerbang rumah Ibu Matilda, lawan politik Ibu. Aku tahu dia orang yang sangat berpengaruh. Aku yakin dia bisa menggagalkan Ibu dalam pemilihan caleg. Aku mantap menekan bel pintu gerbang. Ibu Matilda menyambutku lalu mengajakku masuk ke rumah besar yang sepi itu.

Kesepakatan tercapai. Satu jam pun berlalu. Di atas tempat tidur, Ibu Matilda masih memelukku erat.

“Bu… Izinkan aku pergi dari pelukanmu malam ini.”

“Iya. Pergilah. Enggak usah khawatir. Nanti biar Ibu yang urus semuanya, ya. Kamu boleh kembali lagi ke sini menuntut hakmu jika Ibu gagal memenuhi permintaanmu. Rumah ini jaminannya. Kamu percaya sama Ibu, kan?”

“Iya, Bu.”

Aku merapikan pakaian, lalu berpamitan. Aku melangkah keluar dengan keyakinan akan bisa keluar dari zona nyaman, meskipun harus mengorbankan perasaan, bahwa aku mencintai sesama perempuan.

***

6 thoughts on “.:. Izinkan Aku Pergi dari Pelukanmu Malam Ini .:.

  1. Pingback: Mereka yang Tertantang | kamarpodjok

      • *ngeliat lagi syarat-syaratnya *eh…iya, nggak ada batasan kata. | Dih, si Mumu bilang ke aku kalo mau ikutan, -khusus buatku- cuma boleh maksimal 250 kata aja. Hahahaha. | Well…semoga menang yah 🙂

      • Kalaupun menang itu bonus. Yang terpenting bisa menantang diri-sendiri untuk mengalahkan kemalasan dalam menulis. Hehehe.

Leave a reply to riga Cancel reply