Boneka Bermata Biru

Dia menatapku. Tanpa kedipan, tanpa senyuman. Hanya sorot yang meninggalkan kecemasan. Ini bukan pertama kalinya. Sebulan terakhir, setiap hari tanpa libur, dia selalu menyusulku tidur. Bukan saat sebelumnya, tapi setelah aku lelap dicumbu mimpi semesta.

Dia selalu diam saja menunggu aksiku. Aku tahu, tidak seharusnya dia di tempat tidurku. Tempatnya bukan di sini, tetapi di sebuah kamar kecil sebelah kiri. Kamar warna-warni dengan dominasi pernik berwarna merah muda di segala sisi. Lebih meriah dengan warna cat dinding cerah. Setidaknya dulu sebelum aku memberikan hadiah boneka bermata biru, saat ulang tahunnya kemudian berubah menjadi kelabu. Setelahnya, pemilik kamar itu, gadis kecil usia lima tahun, pergi bersama ibunya ke luar negeri, dalam diam. Menjelajah jarak dan waktu demi cinta pada ayah baru, katanya. Hingga semua kenangan tentangnya pun perlahan berlalu.

Kini meninggalkan ingatan pilu yang buram. Meretas setiap benang-benang kenangan menjelmakan ruang-ruang di rumahku yang suram, meskipun aku juga sudah punya mainan baru seorang perempuan berambut legam. Bukan karena cinta memang, tapi bukankah bersama tidak melulu tersebab rasa yang sama? Pikiranku hanya sederhana, tidak lagi perlu mengeluarkan lembaran uang untuk sekadar bersanggama. Setidaknya sah secara agama. Tapi, apa iya? Entahlah. Toh aku bukan ahli agama, apalagi ulama. Aku hanya sekadar pengikut yang mau tidak mau menurut hingga akhir pada apa yang melekat sejak lahir. Sebenarnya bisa saja aku menafikan, sebab agama adalah tentang keyakinan. Kenyataannya, aku tidak mau melakukan. Semata-mata demi menjaga perasaan keluarga yang tersisa dan nama baikku sebagai pejabat tentunya.

Munafik? Begitulah. Jabatan membuatku harus pandai-pandai bermuka dua. Tidak pernah diajarkan orang tua, bukan berarti aku tidak memperlajarinya dari kehidupan, bukan? Seperti itu diriku saat ini. Banyak hal terserap dalam diri, tanpa pernah orang tua mengajarkan sejak dini. Hakikat hidup memang begitu. Hanya saja, aku lupa. Terlalu membiarkan kehidupan meracuni sel-sel dalam tubuh seorang pejabat yang sebenarnya mantan penjahat.

Ah! Inilah aku. Terbangun dengan tetap menjadi diriku yang kembali ke masa lalu. Terseret oleh pesona kemolekan boneka bermata biru. Ini yang kadang menjadi penyebab perempuan berambut legam selalu tergugu. Aku yang bukan diriku.

Sama halnya malam ini. Selepas azan Isya yang bahkan tidak sempat singgah di telinga, aku kembali membuka mata. Terjaga. Dan, kau pasti sudah tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Boneka bermata biru itu masih di situ, di sampingku. Menebar ancaman, menyorotkan kebencian ke arah perempuan berambut legam yang pulas di samping kanan.

Aku bergeming. Awalnya ada gemetar saat tatapannya menghunjam mata, tetapi akhirnya aku menjadi terbiasa. Hanya saja ada yang berbeda. Semakin aku nyaman di dekatnya, semakin ada bagian tubuh yang mengeras karenanya. Bukan berubah ukuran, hanya saja mampu membuat perkawinan selama setahun dengan perempuan berambut legam tak menghadirkan keturunan. Boneka bermata biru itu yang menyebabkan. Dia selalu saja menghilangkan daya saat aku hendak bersanggama, kecuali ketika sedang bersamanya.

Pun malam ini. Dia kembali datang menemani. Ada senyuman di bibirnya yang dipulas warna merah merona menunjukkan kecantikan. Tunggu! Itu bukanlah senyuman, tetapi seringai dalam tajam tatapan. Dia berubah. Biasanya tertuju pada perempuan berambut legam, kini tajam ke lensa mataku yang mulai buram.

“Kenapa kamu bersikap seperti itu?”

Dia menggeleng lalu mencondongkan tubuh ke arahku. Seperti biasa aku menyambutnya dengan ciuman. Dengan begitu akan menghapuskan tajamnya tatapan. Lima menit kemudian, aku mengendap membawanya ke kamar sebelah kiri yang warna-warni.

Di kamar ini, aku kembali beraksi. Tetap tidak ada suara mengiringi. Bagaimanapun juga boneka bermata biru tetaplah benda mati.

Aku terkapar dengan lemahnya debar, larut dalam keringat membentuk lautan yang maha lebar. Dalam pelukan kepuasan, perlahan boneka bermata biru kutinggalkan sendirian, di tempat dia ditinggalkan oleh pemilik kamar, di atas meja belajar.

Daun pintu kamar sebelah kiri tertutup. Aku melanjutkan lelap di kamarku sendiri bersama perempuan berambut legam. Dingin kurasakan. Bahkan saat dia menggeliat dengan jari-jari digerak-gerakkan dalam sebuah tarian. Aku telah lelah. Terlalu lelah oleh permainan yang membuncah.

Keesokan paginya, aku kembali bersiap menuju kantorku. Sepanjang perjalanan kota yang kupimpin semakin maju. Tak ada lagi anak-anak kecil menadahkan tangan di lampu merah atau anak laki-laki dalam gendongan perempuan kumuh penuh amarah. Yang ada hanya tawa ceria anak-anak di taman bermain. Menumpahkan segala ingin. Sempurna. Setidaknya tidak lebih palsu dari hidupku di masa lalu.

Memasuki kantor aku disambut hormat rentetan sapa. Hal ini membuatku semakin merasa berwibawa. Meskipun sebenarnya tak jarang tanpa sengaja aku mendengar gunjingan. Bukan tentang kepemimpinan, tetapi tentang keturunan. Bahan gunjingan yang sama sekali tidak pernah kupikirkan. Untuk apa, pikirku. Toh kehidupan mereka saat ini ada di tanganku. Aku punya kekuasaan untuk mencabutnya sewaktu-waktu tanpa pernah mereka tahu.

Pulang kantor senja telah menjelang. Kurasakan ngilu seluruh tulang. Tenagaku habis terbuang, bahkan tidak kembali saat sup kaki kambing mulai dijerang. Aku benar-benar tidak berdaya saat suhu tubuh perlahan meningkat setelahnya. Perempuan berambut legam memapahku ke kamar. Menaikkan selimut hingga dada, lalu menelepon dokter pribadi untuk merawat sakit yang ada.

“Bapak baik-baik saja, Bu. Hanya butuh istirahat saja. Saya sudah memberikannya beberapa vitamin untuk memulihkan staminanya.”

Perempuan berambut legam mengangguk, lalu berkata singkat, “Terima kasih, Pak Dokter.”

Begitu saja. Iya. Begitu saja. Seperti yang sudah disepakati sebelumnya tentang berkata sekadarnya hingga tidak lagi menimbulkan tanda tanya. Lengkung bibir tercipta, ketika aku tahu dia masih memegang teguh semua janjinya. Termasuk janji membiarkan aku bahagia dengan caraku sendiri.

Lelah akhirnya berujung lelap. Lelap membuatku merasa butuh istirahat. Istirahat sementara untuk esok hari yang lebih menantang. Menantang diri-sendiri untuk bisa melawan arus kedatangan masa lalu yang bak gemuruh tanah longsor karena hujan berkepanjangan.

Aku tahu penyebab turunnya kondisi tubuhku. Tahu pasti. Lemah tersebab hasrat yang tak bisa dielakkan. Sudah sebulan berturut-turut kejadian itu terulang. Setiap malam. Tak heran roda daya tahan tubuhku hari ini terjun bebas dari puncak ke bawah.

Hal ini diperparah ketika malam datang menjamah. Sekali lagi, boneka bermata biru kembali berada di situ, di sampingku. Aku memalingkan wajah menghindari geloranya yang membuncah. Tangan mungilnya menarik pundakku. Aku berusaha kuat menolak pesonanya. Sia-sia. Entah kekuatan dari mana dia mendadak tumbuh menjadi lebih besar dari sebelumnya. Dia begitu perkasa. Posisi wajahku berbalik tepat ke matanya. Tak ada lagi biru di sana. Tertoreh abu-abu di kedalamannya. Dia mencengkeram pundakku kuat-kuat sambil memajukan bibir. Aku menolaknya. Tidak bisa. Kondisiku tidak memungkinkan. Aku pun berusaha mencari pertolongan. Tangan kananku berusaha menggapai tubuh perempuan berambut legam di sampingku. Kosong. Dia tidak ada di sisiku. Ke mana dia? Apa dia telah meninggalkanku sendiri dalam keadaan seperti ini? Savitri… Di mana kamu? Aku butuh kamu saat ini. Hening. Tak ada jawaban atas teriakan tak bersuaraku. Sisa kekuatanku pun akhirnya menipis. Terkulai dengan rasa teriris.

Boneka bermata abu-abu, sebelumnya biru, semakin liar mencumbu setiap titik tubuhku. Mendadak aku menjelma anak kecil seusia Rani, anakku yang telah pergi ke luar negeri bersama ibu dan ayah barunya. Berusaha berontak namun kegagalan lebih dulu menyerah pada otak.

Savitriii! Tolong aku! Tidak ada jawaban saat tubuhku menggelinjang. Kali ini tidak dalam kepuasan, tetapi dalam ketakutan.

Savitriii! Tolong aku! Sekali lagi tidak ada jawaban. Kamarku tetap hening. Hanya dengus napasku yang terdengar semakin lemah dalam pasrah. Boneka bermata abu-abu semakin menguasaiku. Mencium, menggigit kecil-kecil, lalu mengenggamkan erat kedua tangannya tepat di kemaluanku.

Tuhaannn! Tolong aku!

Kata Tuhan keluar begitu saja saat aku sama sekali tak punya daya. Bahkan untuk menjerit kesakitan sekalipun. Semua hanya berbaur sebagai air mata. Setelah sekian lama, ini pertama kalinya aku kembali menyebut nama Tuhan.

Kedua tangan boneka bermata abu-abu semakin liar memainkan kemaluanku. Lautan merah seketika tercipta bersamaan dengan tercabutnya batang dari akarnya. Tangisan hampir tak terdengar. Sama persis dengan kejadian yang dialami oleh anakku waktu itu.

Setelahnya dia meninggalkanku. Di depan pintu kamar, dia berkata, “Aku tidak mau hanya menjadi saksi, tapi juga menjadi pelaku eksekusi balas dendam atas kebiadaban pada anakmu sendiri. Hahaha…”

~ mo ~

5 thoughts on “Boneka Bermata Biru

  1. Di awal masih samar mengenai siapa sebenarnya gadis kecil pemilik boneka bermata biru yang tinggal di kamar sebelah kiri. apakah ini kisah tentang cinta masa kecil? karna yang terpikirkan, bahwa rumah yang ditempati sekarang oleh tokoh adalah rumah milik gadis kecil, yang mungkin saja di beli oleh tokoh setelah ia beranjak dewasa dan sukses dalam karirnya. Pun di tengah cerita, yang mengisahkan sang tokoh terobsesi dengan perasaannya terhadap gadis kecil tersebut, sehingga seringkali mengabaikan perasaan perempuan berambut legam yang telah setahun mendampinginya. Akhir cerita tidak tertebak oleh saya, karena diawal dan tengah cerita, saya sudah tertipu oleh imajinasi yang sebelumnya diciptakan oleh penulis. Congratulation, secara keseluruhan, saya suka cerita ini.. 🙂

  2. Seperti biasa… tulisannya mengagumkan mas. Ada olok-olok tentang pernikahan yang semata-mata agar sah bersenggama dan juga tentang pejabat yang pada dasarnya bermuka dua (kedua hal ini sering terjadi di masyarakat Indonesia).
    Tapi ijin koreksi sedikit, atau sebenarnya ini sebuah pertanyaan yg mengganjal sih.
    Di awal ditulis kalau gadis kecil ini pergi bersama ibunya ke luar negeri dalam diam, menjelajah jarak dan waktu demi cinta ayah baru.
    Sedangkan di akhir boneka itu mengatakan bahwa sang ayah (pejabat ini) dengan biadab menodai anak gadisnya sendiri.
    Jadi, pertanyaan saya, apakah ini kesengajaan? Atau memang ada maksud dari masmo? Karena menurut saya, jika gadis kecil ini pergi bersama ibunya ke luar negeri karena kebencian yang mendalam kepada ayah si gadis, itu menjadi alasan yang lebih pas.
    Maap jadi bawel begini ya…

    • Ehehe… Enggak papa. Malah seneng akunya. Ada kata ‘hanya diam’. Maksudnya si gadis kecil hanya memendam. Sedangkan perihal ke luar negeri karena memang istrinya, ibu si gadis kecil, menikah lagi (alasannya tidak tahan dengan kelakuan sendiri) dan mengajak gadis kecil itu ikut. Gitu, si, maksudku. Boneka sendiri sebenarnya hanyalah simbol ketakutan terpendam dari si ayah selama ini. Masukannya menarik untuk dieksekusi di cerpen berikutnya dari sudut pandang si gadis kecil yang trauma hingga dewasa. Rencananya, si, pakai simbol ‘bulan’. 🙂

Leave a reply to Momo DM Cancel reply