Pahlawan Literasi: Rasa dari Asa

Sebab menyerah hanyalah milik orang-orang kalah

“Bapak! Buku siapa ini?”

Tanpa mengalihkan pandangan dari pohon kelengkeng ke arah anak laki-laki yang tiba-tiba muncul di belakangku, aku bertanya, “Buku apa, Mas?”

“Sepertinya kumpulan cerpen, Bapak.”

Aku masih asyik menekuni batang kelengkeng yang hendak aku cangkok. Tanpa menghiraukan panggilannya aku terus membersihkan lapisan dalam batang hingga benar-benar bersih.

“Bapak … Buku apa ini?”

“Judulnya apa, Mas?” tanyaku sambil menyelesaikan cangkokan.

Cukup lama anak itu membisu. Hingga akhirnya dia membaca judul buku yang dibawanya dengan lantang.

“Bukan Kegagalan karya Momo DM!”

Deg!

Seketika ada yang hangat mengalir dalam dadaku. Aku mengenalinya sebagai debar ingatan pada masa lalu. Suatu masa saat aku mengenali kompetisi sebagai tantangan tersendiri. Dan, buku itu adalah saksi bisu perjalanan panjang sebuah perjuangan. Hingga pada akhirnya debar itu membuat otakku memerintahkan rangka penyusun tubuhku berpindah searah gaya gravitasi bumi.

Tidak serta merta memang. Aku membutuhkan setidaknya beberapa sekon untuk benar-benar menginjak permukaan bumi. Aku bergegas melangkah menuju anakku. Jantungku seakan hendak meloncat keluar dari tempat bernaungnya. Tepat di depan anak laki-laki berhidung minimalis itu, aku mengubah diri menjadi patung.

Sorot tajam mataku terpaku pada sebuah sampul buku yang dihadapkan padaku. Mataku perlahan memindai setiap aksara hingga menemukan sebuah makna. Tentang kegagalan di masa lalu. Pun pembelajaran untuk terus maju.

“Kenapa buku ini ada di tanganmu, Mas? Di mana Mas temukan buku ini?”

Berondongan pertanyaan membuat tubuh anak pemilik kening sedikit lebar itu seakan bergetar. Aku segera mengambil buku itu kemudian mengajak anak laki-laki yang biasa disapa Opin itu untuk duduk di bangku bambu bawah pohon kelengkeng. Bumi masih berputar pada porosnya ketika aku dan Opin memutuskan berbagi cerita sambil menikmati oksigen hasil fotosintesis daun.

“Mas … Bapak sudah lama mencari buku ini. Di mana Mas temukan?”

Kepala Opin membentuk garis lurus dengan badannya. Dengan satu tarikan molekul-molekul oksigen berpindah ke paru-parunya. Sesaat setelahnya dia pun memberikan asupan karbondioksida pada kelengkeng lewat embusan napasnya.

“Opin temukan buku ini di kolong tempat tidur Opin, Bapak,” jawab anak laki-laki pemilik alis tipis itu.

Ingatan membawaku kembali ke sekitar enam tahun silam. Masa, ketika aku begitu tergila-gila dengan mencintai aksara. Masa, saat aku tak pernah lelah mencumbu papan ketik komputerku. Masa, kala aku memilih menghambakan diri pada alinea. Dan, masa, waktu aku kembali menyadari bahwa segala sesuatunya tidak terjadi secara serta merta. Termasuk kecintaanku pada aksara.

Ah! Sungguh masa istimewa.

“Bapak kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Opin mengembalikan ingatanku.

“Tidak apa-apa, Mas. Bapak hanya merasa senang karena akhirnya buku ini bisa ketemu. Terima kasih, ya, Mas.”

Opin membalas senyumanku sebelum akhirnya membuka suara, “He he he. Opin juga tidak sengaja menemukannya. Memang kenapa dengan buku itu, Bapak?”

Tawa renyah di antara bias mentari yang mengintip dari sela-sela daun kelengkeng itu seolah tak tertahankan lagi. Terlebih aku yang akhirnya menceritakan perihal buku itu sebagai prasasti atas ide-ide di kepala yang belum menemukan jodohnya. Cerita-cerita pendek di dalamnya memiliki kisahnya masing-masing. Ada yang dihempaskan begitu saja oleh redaksi media cetak. Ada juga yang menjelma gumpalan kertas di meja editor majalah ternama ibukota. Pun yang teronggok begitu saja di surel penerbit. Namun, semuanya akhirnya menjadi motivasiku untuk lebih giat berusaha menghasilkan karya.

“Jadi, tenang saja, Mas. Setidaknya lewat buku ini Bapak bisa belajar banyak untuk menjadi tahan banting dan tidak mudah patah arang. Persis seperti yang disampaikan Pak Haji Encon Rahman,” pungkasku.

Opin mendekatkan kepalanya ke arahku. Aku menemukan sejuta tanda tanya dalam tatapnya. Dan, aku pun memilih untuk bergegas mengobati penasarannya.

“Bagi Bapak, Pak Haji Encon itu adalah Bapak Media. Kok bisa? Karena tulisan beliau setidaknya 500 lebih artikel di koran. Koran apa saja? Banyak, Mas. Terbanyak adalah koran lokal Bandung dan tingkat Nasional yaitu Harian Pikiran Rakyat. Bapak tahu kalau Pak Haji Encon menerapkan prinsip teruslah menulis dari yang ringan-ringan saja kemudian ke tulisan berat. Apa maksudnya? Maksudnya adalah kita disarankan menulis jenis tulisan yang kita kuasai.”

Aku menarik napas panjang lalu melanjutkan kata-kata, “Apakah semua harus kita kuasai? Sebagai penulis pemula itu tidak ada salahnya karena dengan begitu akan bisa menemukan gaya tulisan sesuai kemampuannya. Lalu jika sudah mampu harus bagaimana agar tulisan bisa dimuat di media? Menurut Pak Haji caranya gampang yaitu istikamah dalam menulis dan mengirimkan karya secara rutin. Hal ini akan membuat redaksi mengenali gaya penulisan kita.”

Keingintahuan Opin yang tenggelam di kelopak matanya seakan hendak meloncat saat aku menjelaskan kalimat demi kalimat. Tatapan tajam tanpa mengalihkan pandangan itu menguatkan niatku untuk melanjutkan cerita.

“Selain itu, menurut beliau masih banyak tips lainnya. Di antaranya yaitu membaca berita koran untuk mengetahui tren yang sedang viral. Apakah ada yang lain? Ada, dong. Sebagai permulaan coba dulu kirim ke koran lokal. Setelah berhasil jadikan semangat untuk menulis di koran tingkat nasional. Begitu kurang lebih, Mas. He he he. Ada yang mau ditanyakan?”

“Ngg … Tanya apa lagi ya, Bapak, ya. Sepertinya semua sudah jelas. Oya, pelajaran apa, sih, yang bisa Bapak ambil dari beliau?”

Aku mengambil ranting kering yang lepas dari dahannya. Di atas tanah gembur itu aku menuliskan sebuah kata.

A S A

Aku mendengar Opin mengeja kata itu dengan nada pelan. Aku pun menjelaskan perihal asa yang aku pelajari dari Pak Haji Encon Rahman.

“Asa adalah harapan. Ada asa di dalam rasa. Bagi yang suka menulis harapan-harapan meraih kesuksesan, baik lewat media massa cetak maupun daring dengan catatan menulis menggunakan rasa ikhlas dan diniatkan sebagai ladang ibadah. Begitu, Mas.”

Dan, tepuk tangan Opin pun mengakhiri perbincangan di antara pertukaran oksigen dan karbondioksida yang terjadi siang itu.

– mo –

10 thoughts on “Pahlawan Literasi: Rasa dari Asa

  1. keren sekali pak resumenya. kata-kata komentnya cukup dengan “seluwes” ini karyanya

  2. Sumber inspirasi dan ilmu bagi saya pribadi. Terus berkarya dan berbagi mazmo 👍👋🙏

  3. Pingback: Pahlawan Bahasa: Berwirausaha dari Suka |

  4. Pingback: Pahlawan Literasi: Berwirausaha dari Suka – Jejak Penggerak

Leave a comment