Pahlawan Literasi: Ide dari Keluarga

“Sejatinya ada kendala dalam setiap proses, tugas kita menuntaskannya”

Brak!

Suara itu memecah keheningan malam. Sesaat setelahnya hening kembali meraja. Di sudut sepi, tubuhku terduduk sendiri. Deretan tulang belakangku membentuk kurva hingga membuat kepalaku menyentuh meja kayu.

Gelombang cahaya dari layar komputer tak juga mampu merangsang sepasang mataku. Pendar cahaya terang itu melingkupi bagian atas tubuhku. Namun, aku enggan menangkapnya sebagai perintah menyelesaikan yang telah dimulai. Berderet-deret aksara membentuk garis lurus beraturan. Namun, tidak dengan isi kepala yang telah kutumpahkan.

Kekosongan kini memenuhi kelopak mataku. Kebuntuan sekarang menghinggapi otakku.

Kepalaku terangkat dari atas papan ketik ketika kurasakan gaya sentuh di pundakku. Pundakku memberikan reaksi dengan sedikit bergerak ketika gaya itu melakukan aksi.

“Eh … Mamak, Opin. Kalian kok belum tidur?” tanyaku setelah tulang belakangku kembali tegak.

Setelahnya kurasakan kembali gaya sentuh di kedua pundakku. Gaya itu terus bekerja hendak merelaksasi kontraksi otot yang terjadi.

“Sudah, Mas. Terima kasih, ya,” kataku sambil menepuk kedua tangan mungil Opin.

Kaki kursi tempatku mendudukkan tulang ekor terdengar beradu dengan keramik. Gaya gesek antara keduanya itu berhasil membuatku menghadap keduanya. Bayangan Mamak dan Opin diterjemahkan oleh retina mataku sebagai orang-orang terkasih.

Dalam senyuman, aku mengajak mereka keluar ruangan. Langkah kaki beradu dengan lantai keramik. Setiap langkahnya adalah melodi keindahan sebuah kebersamaan.

Diselingi dengan beberapa tawa kecil, aku dan mereka berdua tiba halaman rumah. Di salah satu sudutnya, aku mengajak mereka naik dan duduk di berugak. Di atas gazebo persegi dari kayu berkaki empat itu, aku pun menciptakan gelombang suara.

Gelombang suara di bawah gelombang cahaya lampu bohlam terang itu terus memenuhi udara. Aku memulainya dari ihwal kejadian di ruangan kerjaku. Mereka berdua menganggukkan kepala.

“Sepertinya Bapak butuh rehat untuk sementara waktu,” kataku selanjutnya.

Mamak Opin yang menumpukan punggungnya di salah satu tiang berusaha menyahut, “Memangnya kenapa, Pak?”

“Iya. Tidak biasanya Bapak seperti ini,” Opin terdengar menimpali.

Aku pun menjelaskan perihal isi kepalaku yang sepertinya memilih berkelana tanpa tujuan. Padahal sejatinya aku ingin mengikatnya dalam bentuk tulisan. Namun, segala upaya sepertinya belum mampu membuat kendala itu sirna.

Kehadiran Opin dan mamaknya mengingatkanku pada sosok perempuan hebat berusia 31 tahun yang menginspirasi banyak orang lewat tulisan. Sosok ibu dua anak itu mampu tetap berkarya di tengah-tengah kesibukannya. Guru di SMP Negeri 8 Semarang bernama lengkap Noralia Purwa Yunita, M.Pd. itu bahkan mampu menerbitkan buku solo hasil pengubahan tesis menjadi naskah buku.

“Jadi, rehat sejenak itu salah satu tips dari Ibu Nora mengatasi kendala kebuntuan ide,” kataku menjelaskan.

Opin mengangkat kepalanya yang sedari tadi disandarkan di lengan kananku. Bibir mungil itu pun sedikit demi sedikit terbuka.

“Tapi apa iya, Bapak diam-diam saja saat rehat?” tanyanya sambil menyelami kedalaman mataku.

Aku tersenyum ke arahnya kemudian menjawab, “Ya tidaklah, Mas. Menurut Ibu Nora, rehat bukan berarti istirahat total. Rehat di sini sebagai jeda sementara saja sambil berusaha memecahkan kebuntuan ide.”

“Lalu apa yang bisa Bapak lakukan?”

Kali ini Mamak Opin yang merangkai tanya. Sementara Opin kembali menyandarkan kepalanya di lenganku sambil memperhatikan mamaknya. Aku mengetahuinya setelah sekilas meliriknya.

“Banyak sebenarnya, Mak. Intinya kegiatan yang menyenangkan. Bisa menonton film, bisa jalan-jalan atau apa saja. Kalau Bapak sih dengan mengobrol seperti ini lebih dari sekadar menyenangkan. He he he …”

Tawa kecil pun bersahutan menembus keremangan malam. Tawa kecil yang akhirnya membantuku kembali mengumpulkan ide-ide yang terserak.

“Jadi ceritanya Bapak sudah menemukan ide tulisan, nih?” tanya Mamak Opin.

Aku menjawab pertanyaan itu dengan senyuman.

“Ide apa yang Bapak temukan?” Opin berusaha menemukan jawaban atas rasa penasarannya.

Aku kembali tersenyum. Kali ini senyuman yang mengantarkan mereka berdua kembali mendengarkan ide tulisan yang telah kutemukan tentang menulis biografi keluarga.

“Wah! Ide bagus itu, Pak. Seru. Oya, Bapak kenapa bisa tiba-tiba berpikiran tentang ide seperti itu?” tanya Mamak Opin sambil meluruskan kedua kakinya.

Aku pun menjawab pertanyaan itu dengan pernyataan pamungkas, “Bagi Bapak, tamasya terindah adalah berkumpul dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Kapan saja dan di mana saja.”

Pernyataan pamungkas yang akhirnya mengantarkan kami bertiga ke tepi dermaga malam. Dermaga yang riuh dengan doa-doa kebaikan sebelum raga dan pikiran menemukan kedamaian di peraduan masing-masing.

– mo –

14 thoughts on “Pahlawan Literasi: Ide dari Keluarga

  1. Saya bisanya menikmati untaian kata kias bermakna dari tulisan BPK Opin 👋 advanced level pak👋👋👋

  2. Asyik bngt kalo dah baca resume mas Mo.. unik nyentrik.. sukses mas…
    Ditunggu kripik pedesnya yah di blog ku..

  3. Penataan paragraf yang baik, apalagi dilengkapi dengan gambar-gambar yang relevan. Bikin yang membaca tidak terasa capek dan terburu-buru.

    Ditunggu tulisan selanjutnya pak.

  4. Pingback: Pahlawan Bahasa: Berwirausaha dari Suka |

Leave a comment