Menjadi yang Kesekian Kali

Sudah sejak tadi pagi aku terbiar sendiri. Di titik ini aku masih setia menanti. Setelah perjalanan jauh dari pulau seberang, bisa tiba di tempat ini dengan selamat adalah hal yang harus disyukuri. Namun, apalah daya diri ini. Bukan peluk cium yang aku dapatkan. Namun, sikap acuh yang ditunjukkan.

Aku tahu, pria kurus itu sedang berkutat dengan pekerjaannya. Namun, tidak seharusnya seperti ini. Berada di posisi ini sebenarnya tidak nyaman bagiku. Rasanya aku ingin menghambur ke pelukannya. Lalu membiarkan aroma tubuhku lenyap di kedalaman indra penciumannya. Namun, itu tidak mungkin kulakukan. Aku tahu konsentrasinya akan terpecah jika aku memaksakan.

“Atau jangan-jangan … Dia tidak menginginkan kehadiranku?” tanyaku di sudut sepi.

“Atau … Jangan-jangan dia memang tak mau lagi menghargai perjuanganku selama ini?” tanyaku lagi pada sunyi.

“Apa salahku?” tanyaku sekali lagi pada senyap.

Beberapa pertanyaan terus terlontar. Sepi, sunyi, senyap, dan hening tetaplah menjadi jawabannya.

Hingga akhirnya sosok itu berdiri. Sekilas dia melirik ke arahku. Namun, sesaat setelahnya pria yang memakai baju batik itu pun berlalu.

Aku masih sendiri di ruang sunyi. Menunggu hingga pria pemilikku itu kembali. Cukup lama aku menghambakan diri pada sebuah kata, penantian. Lama sekali aku melabuhkan diri pada satu kata, kesabaran. Penantian dalam kesabaran itu pun membuahkan hasil.

Pria yang selama dua bulan kurindukan dalam bayang, kini menjelma kenyataan. Pada satu titik temu, dia melihatku dalam senyuman lebar. Langkah kakinya memburu ke arahku. Sentakan jari-jari kurusnya merobek pembungkus tubuhku. Sesaat setelahnya aku pun tenggelam dalam pelukan hangatnya. Butuh waktu panjang hingga akhirnya dia mau melepaskan. Setelah sebelumnya jemarinya yang menari-nari di tubuhku, kali ini giliran hidung besarnya yang tergesa menghujaniku dengan ciuman sepenuh hati. Aku membiarkannya menuntaskan kerinduan atas usaha sebuah penantian panjang.

Perlahan dia pun memasang kembali pembungkus tubuhku. Hingga akhirnya pembungkus tipis itu pun kembali aku kenakan.

“Tunggu dulu, ya. Aku absen dulu baru kita pulang,” katanya saat bel pulang sekolah terdengar.

Dalam kesendirian aku berharap tidak ada yang melihat kejadian tadi. Beruntung ruangan pria pemilik tubuhku ini merupakan ruang pribadi. Demi menyadari itu, aku pun menunggu dalam sebuah harapan bisa segera berbagi kenikmatan.

Benar saja. Setiba di rumah sederhana miliknya, dia langsung mengenalkanku pada keluarga besarnya. Kebahagiaan pun membuncah karena pertama bertemu langsung diterima dengan tangan terbuka.

Satu per satu dia mengenalkanku pada mereka. Setelahnya, dia memutuskan memilihkan kamar terbaik untukku. Di bilik berukuran kecil itu, akhirnya aku bisa berkumpul dan berbagi cerita dengan anggota keluarga lainnya.

Saat dia memutuskan meninggalkanku sementara waktu, aku mencuri pandang ke arah sekelilingku. Anggota keluarga besarnya terlihat beragam. Mereka terlihat anggun dan berwibawa dalam jubah kebesarannya masing-masing. Tidak terkecuali aku yang memilih gaun cokelat kombinasi kuning keemasan. Sama dengan yang lainnya, di tempat itu aku tampak elegan.

Senja yang kian pudar mengantarkan hari menuju gulita malam. Di bilik itu aku kembali terdiam bersama sekumpulan anggota keluarganya. Anggota keluarganya yang menemaniku merupakan anggota pilihan. Sebab mereka lahir dari rahim-rahim bernama akal pikiran.

Dalam hujan cahaya di bilik itu, diam-diam pria yang terlihat memakai sarung itu meraih tubuhku. Dia bergegas mengajakku menghilang dari kerumunan. Aku tak kuasa menolaknya.

Di sebuah kamar dengan beralas karpet bulu berwarna hijau berukuran kecil dia mulai mencumbuku. Dengan sepenuh hati dia menyentuh wajahku. Perlahan tetapi pasti dia mulai membuka satu per satu. Dia mulai melahap setiap titik yang dijumpainya. Tergesa-gesa kukira. Tidak salah dugaanku. Di suatu titik dia berhenti cukup lama. Dengan gairah berkobar dia hendak menuntaskan. Puncaknya adalah saat pria itu tiba di titik kenikmatan paripurna.

Kenikmatan yang akhirnya berujung perpisahan. Dia harus bergegas pergi menjemput anak dan istrinya di rumah mertuanya. Lalu aku bisa apa? Aku hanya bisa pasrah tergolek tak berdaya. Tanpa tenaga. Pun kuasa untuk mencegahnya. Aku membiarkan dia ke pelukan anak istrinya untuk memberikan kabar kehadiranku sebagai anggota keluarga baru di rumah mereka.

Keesokan harinya perayaan suka cita pun digelar. Dengan persetujuan anak dan istrinya aku diberikan tempat istimewa, di tingkat paling atas. Di tempat itu, aku, ‘Jejak Digital Motivator Andal’ berjejer rapi bersama buku-buku antologi, kolaborasi maupun solo yang telah diterbitkannya.

– mo –

20 thoughts on “Menjadi yang Kesekian Kali

  1. maaf bianglala, kata jangan yang terucap tidak cukup kuat untuk menahan gairahku untuk segera memiliki apa yang telah kau miliki. Agar bisa segera kucumbu dengan liar setiap titik literasi yang kutemui.

    Bagaiamana cara agar aku bisa memilikinya “Jejak digital motivator andal”. Segera jawab pertanyaanku, jangan biarkan aku gila menunggu …. 😂😂

    gmn ? 😎

  2. Woww keren,,saya sampai nggak bisa nebak endingnya apa,,,ternyata buku😀😀😀permainan kata yg sangat sempurna, membuatku terbius asa,,pokoknya …mantap

    • Alhamdulillah. Pun demikian halnya dengan saya, Bu Hal. Saya juga pantas bangga bersanding semua Bapak/Ibu Guru Hebat di buku tersebut 🙏

  3. Awalnya mikir aku adalah sosok manusia. Waktu mulai adegan2 panas langsung sadar kayaknya bukan manusia. Mungkin anjing peliharaan. Tapi ternyata buku. Hahaha.. Jarang2 artikel kaya gini. Ditunggu artikel berikutnya.

  4. Sejak awal aku membaca dengan seksama dan hati hati ditemani berbagai tanya. Endingnya? Ternyata…..😬😬😬

  5. Pingback: Tukar Link Yuk?! – Alvi Punya Cerita

Leave a comment