Pahlawan Literasi: Mahakarya dari Usaha

Sebab setiap kita memiliki pemikiran yang berbeda untuk satu hal yang sama

“Pusing Opin ini, Bapak.”

Suara keluhan itu memecahkan konsentrasiku membaca buku. Dengan pelan aku meletakkan buku itu di atas alas berugak. Di hadapanku seorang anak laki-laki sedang menopang dagu. Pulpennya tergeletak begitu saja. Tidak jauh dari pulpen berwarna hitam itu, beberapa kertas bergaris berserakan. Salah satunya telah berisi tulisan. Sebagian lagi berisi garis-garis tidak menentu.

“Mas kenapa?” tanyaku sambil meraih selembar kertas yang sebagiannya telah penuh oleh tulisan.

Opin masih berada dalam posisinya semula. Bahkan gaya dorong yang kuberikan tepat di bagian lengannya tak kuasa membuatnya berubah kedudukan. Aku pun memutuskan mengeja satu per satu kata yang ada. Seketika aku tersenyum. Aku telah menemukan jawabannya.

“Tidak usah dipaksakan, Mas. Istirahat saja dulu,” kataku sambil meraih pulpen hitam milik Opin.

Kali ini aku berhasil membuat Opin mengangkat dagu lancipnya. Dari sudut mata, aku melihat dia tersenyum. Aku sedang memeriksa hasil pekerjaannya.

“Ini kan sudah bagus, Mas. Kurang apa lagi memangnya?” tanyaku sambil menyodorkan lembaran berisi catatan kecil itu padanya.

Dia pun segera mengamati hasil pekerjaannya dengan saksama. Senyum di bibirnya terlihat semakin lebar ketika dia akhirnya meletakkan lembaran itu.

“Cuma ini saja kekurangannya, Pak?” tanya Opin sambil menunjuk salah satu bagian tulisan dengan pulpennya.

Aku menganggukkan kepala. Sesaat setelahnya aku pun mengajaknya berbincang di awal pagi itu.

“Itu saja sudah cukup, Mas. Tidak usah terlalu panjang juga tidak apa-apa,” kataku membuka penjelasan.

Opin menyandarkan tubuhnya dengan bertumpu pada dua tangannya. Sepasang mata elangnya menerawang ke arah atap ilalang kering. Sejenak kemudian dia meluruskan pandangan ke arahku. Gelombang suara pun dihasilkan dari getaran pita suara dan keluar setelah melewati lidah dan sepasang bibirnya.

“Tapi ini terlalu sedikit, Pak. Bagaimana saya bisa menerbitkannya?”

Kedua sudut bibirku tertarik ke arah yang berbeda. Untaian kata pun terlontar dari sela-sela gigiku yang sudah ompong sebagiannya.

“Tenang, Mas. Jangan jadikan itu sebagai alasan untuk tidak jadi menerbitkan buku. Ingat pesan Pak Brian yang Bapak ceritakan tadi,” kataku berusaha menguatkan semangatnya.

Opin terlihat mendongakkan sedikit kepalanya. Sesekali dia terdengar seperti sedang menggumam. Aku memahami sebagai usahanya untuk mengingat yang telah aku ajarkan.

“Mas masih ingat, kan. Kata Pak Brian, dalam kondisi seperti itu kita bisa cari penerbit yang tidak menentukan batas minimal halaman buku,” kataku menjawab tanda tanya di sepasang matanya.

Sumber: Twitter @Praszetyawan

Sebagai pemanasan aku kembali mengingatkannya tentang sosok Pak Brian. Tentang seorang pria muda bernama lengkap Raimundus Brian Prasetyawan yang seorang guru SD di Jakarta. Pun perihal prestasi lelaki kelahiran Jakarta tanggal 30 Juni 1992 ini.

Tidak lupa aku juga menceritakan tentang perjalanan panjangnya menjadi seorang penulis di usia muda. Sebuah cerita inspiratif yang kuharapkan bisa menggugah semangat literasi bocah yang saat ini sedang menatapku penuh arti. Hampir tanpa jeda aku menjelaskan tentang awal karir kepenulisan Pak Brian sejak tahun 2009 dimulai dari blog. Aku melanjutkannya dengan cerita tentang cita-citanya menerbitkan buku tahun 2014. Termasuk juga kendala yang dihadapi.

Sumber: Facebook Brian Prasetyawan’s Blog

Dari blog pribadinya, aku pun menjelaskan kepada Opin tentang tulisannya yang pernah dimuat di beberapa media nasional. Demi melihat ketertarikan di binar bola matanya, aku menyebutkan beberapa nama media. Media-media itu antara lain, Harian Kompas, Kedaulatan Rakyat, Warga Kota, Media Indonesia, Tabloid Bola, Tabloid Soccer, dan Majalah Hidup.

“Terus bagaimana ceritanya beliau baru bisa menerbitkan buku di tahun 2020 itu, Bapak?”

Sebuah pertanyaan yang membuatku menggali lebih dalam tentang sosok muda ini. Aku pun menjelaskan hasil baca kepada anak semata wayangku. Tentang masa vakumnya untuk sementara waktu karena kegamangan informasi tentang penerbitan buku indie. Pun keberhasilannya menemukan penerbit indie yang dirasa cocok dengan kebutuhannya.

“Mas tahu apa kehebatan beliau setelah berhasil menyelesaikan kendala yang dihadapinya itu?”

Opin menggelengkan kepala. Aku mengenalinya sebagai perintah untuk kembali memberikan penjelasan.

“Hebatnya beliau itu, Mas. Dalam kurun waktu tahun 2020 ini, beliau berhasil menerbitkan tiga buku solo dan beberapa proyek antologi. Keren, kan?”

“Wah mantap! Buku apa saja itu, Bapak?”

Aku menarik napas panjang. Setelahnya aku menyebutkan beberapa judul buku yang berhasil diterbitkan Pak Brian. Buku-buku tersebut berjudul Blog Untuk Guru Era 4.0, Aksi Literasi Guru Masa Kini, dan Menerjang Tantangan Menulis Setiap Hari.

Sumber: http://www.praszetyawan.com/

Saat mendengar ceritaku, anak belasan tahun itu terlihat hanya menganggukkan kepala. Aku pun kembali melanjutkan cerita.

“Nah, Mas. Dalam menerbitkan buku, Pak Brian memiliki rekanan yang bisa menjawab kekhawatiran Mas tentang batas minimal halaman naskah untuk dicetak.”

Sesudahnya dia kembali melaksanakan tugas otaknya untuk menciptakan gelombang suara. Pertanyaan singkat terlontar dari bibirnya.

“Memangnya ada, Bapak?”

“Ada, dong! He he he,” jawabku singkat.

Aku pun berusaha menjelaskan tentang nama penerbit indie yang bisa menerbitkan buku tanpa batas minimal halaman. Perusahaan penerbitan itu bernama Gemala. Penerbit indie yang bermarkas di Depok itu telah berdiri sejak tahun 2018. Berbagai jenis buku telah diterbitkan oleh perusahaan ini.

“Wah enak dong, Bapak!” teriak Opin kemudian.

“Pastinya, Mas. Makanya tetap semangat menulis tugas ringkasan pelajarannya, Mas,” kataku menyulut kembali kobar api yang hampir saja padam itu.

Opin tertawa kemudian berkata, “Ada syarat lain untuk menerbitkan di penerbit … Ngg … Apa tadi namanya, Bapak?”

“Gemala. G E Ge, M A Ma, L A La. Gemala,” jawabku sambil tersenyum kemudian melanjutkan kata-kata, “syarat lain pasti ada, dong, Mas. Syarat utamanya yaitu cukup dengan membayar tiga ratus ribu rupiah saja untuk biaya pracetak. Pracetak itu meliputi apa saja? Pracetak meliputi atak, ISBN, cover, dan penyuntingan ringan. Selain itu penulis akan mendapat dua eksemplar bukti terbit dan e-sertifikat.”

Syarat dan Ketentuan Gemala Publishing (Sumber: gemala.com)

Opin terlihat mengangguk-anggukkan kepala. Senyum terlihat menghiasi wajahnya yang terbias mentari pagi. Sejenak aku rehat sekadar memberikan ruang kepada Opin untuk mencerna setiap penjelasan. Tidak apa-apa meskipun pelan-pelan yang penting dia paham, pikirku.

Dan, jeda pun berakhir saat aku memberikan kesempatan kepada Opin itu bertanya. Awalnya dia masih bingung dengan apa yang hendak ditanyakannya. Aku pun berusaha melemparkan kail ke kedalaman pemahamannya. Butuh waktu cukup lama hingga akhirnya kail itu benar-benar berhasil menangkap sebuah tanya.

“Bayar cetaknya berapa, Bapak?”

Aku membuka kembali laman media sosial penerbit Gemala. Ada harapan akan menemukan informasi yang dibutuhkan. Dari informasi yang ada, aku pun bisa memberikan penjelasan.

“Harga cetak per buku tergantung jumlah halaman. Sebagai gambaran untuk 100 halaman A5 harga cetaknya Rp33.250,00. Standarlah, Mas. Kualitasnya pun mengikuti standar penerbitan pada umumnya. Mas tahu tidak kualitas penerbitan penerbit ini seperti apa?”

Opin mengangkat bahunya. Setelahnya dia pun menggelengkan kepala. Melihatnya masih belum begitu paham dengan topik perbincangan, aku pun mengalihkannya pada sebuah buku yang sedang kubaca. Dengan saksama sepasang matanya pun menatap ke arahku.

Sesaat setelahnya aku berkata sambil menyerahkan buku itu padanya, “Coba Mas perhatikan buku Bapak ini.”

Opin pun membolak-balikkan buku solo pertamaku berjudul Cermin itu. Pertama dia terlihat memperhatikan sampul berwarna cokelat tua motif batik. Sesaat setelahnya berpindah ke bagian dalam. Tangan mungilnya terlihat meraba kertas berwarna cokelat itu. Sesekali dia membolak-balikkan lembaran berisi cerita mini 123 kata tentang ibu itu.

“Nah kalau menurut Mas, bagaimana kualitas buku Bapak yang diterbitkan lewat nulisbuku.com ini?” tanyaku membuatnya menghentikan aktivitasnya.

“Ngg … Bagaimana, ya? Bukunya bagus, sih.”

“He he he. Sebenarnya kualitas cetakan bisa diukur, Mas. Contohnya buku itu. Sampulnya adalah soft cover bahan art carton 260 gms, binding, laminating glossy, dan wrapping plastik. Sedangkan kualitas kertasnya memakai bookpaper 57 gram dan dijilid lem panas. Nah seperti itu juga kualitas cetak di Penerbit Gemala, Mas,” kataku panjang lebar.

Dan, mentari yang kian meninggi pun akhirnya menjadi saksi penutup perbincangan sejak pagi. Opin kembali menekuni tugasnya membuat ringkasan. Sedangkan aku, perlahan beranjak meninggalkan berugak. Ada harapan dalam setiap langkah untuk menerbitkan buku lebih banyak lagi. Tanpa kusadari bayangan demi bayangan sampul buku terbayang di pelupuk mataku. Bayangan-bayangan yang kelak akan menjelma mahakarya dari usaha.

– mo –

13 thoughts on “Pahlawan Literasi: Mahakarya dari Usaha

  1. Sangat bgus sekali.. Cukup lengkap, terperinci, bahkan ada dari sumber website langsung. Opin yang selalu cerdas mengemukakan pertanyaan….jempol 2 pak

  2. Bagi tipsnya mas biar bisa tulisan seperti ini! Memasukkan resume kedalam sebuah cerita! Menarik sekali! Kalau saya masih datar terus resumenya

  3. Pingback: Pahlawan Bahasa: Berwirausaha dari Suka |

  4. Luar biasa Pak Momo risetnya. Medsos saya dimanfaatkan betul untuk jadi bahan resume hehe. Bahkan menemukan web penerbitnya juga.
    Itu yang foto saya dari twitter, harusnya dicrop aja pak. Malu hihihi

Leave a comment